Harakiri, Pengorbanan Sebagai Bentuk Kehormatan Orang Jepang

WeXpats
2021/03/16

Berbicara soal kehormatan dan harga diri, orang Jepang sangat menjunjung tinggi nilai ini. Salah satu buktinya adalah kegiatan harakiri yang telah dilakukan oleh para samurai tempo dulu. Mereka rela melakukan aksi perobekan terhadap perutnya sendiri demi mengembalikan nama baik atau kehormatan keluarganya. Mengerikan memang tapi inilah sesuatu yang harus dibayarnya.

Kata harakiri sendiri berasal dari dua kata, yaitu hara (perut) dan kiri (menusuk atau memotong). Dengan begitu, dapat dipahami bahwa aksi ini merupakan bunuh diri dengan memotong perut sendiri. Istilah harakiri sebenarnya terdengar kasar atau terlalu vulgar. Agar bunuh diri ini dinilai terhormat, beberapa orang menyebutnya dengan nama seppuku.

Daftar Isi

  1. Mengapa Ada Harakiri?
  2. Prosesi Harakiri
  3. Jigai, Bentuk “Harakiri” Kaum Wanita
  4. Perlahan Harakiri Mulai Ditinggalkan

Mengapa Ada Harakiri?

Aksi harakiri tidak bisa dipisahkan dari prinsip bushido, yakni nilai-nilai samurai yang menitikberatkan pada kesederhanaan, kesetiaan, dan kehormatan sampai mati. Dalam perkembangannya, samurai semakin terlihat perannya sebagai kelas prajurit. Apalagi pada zaman Edo, samurai disebut sebagai bushi. Oleh sebab itu, praktik harakiri zaman dulu banyak dilakukan oleh kaum samurai.

Tujuan harakiri tentu saja mempertahankan harga diri, baik untuk diri si samurai tersebut maupun keluarganya. Adapun seorang samurai melaksanakan harakiri berdasarkan dua nilai, yaitu on dan giri. On berarti pengabdian tanpa batas kepada seorang penguasa, sedangkan giri merupakan ekspresi kesetiaan mendalam seorang bawahan yang ditunjukkan dengan kematian.

Beberapa sumber mencatat kalau Minamoto No Yorisama adalah orang yang pertama kali melakukan harakiri pada tahun 1180. Kala itu ia memimpin klan Minamoto saat perang Genpei. Kekalahan klan Minamoto dari klan Taira membuat dirinya harus menebus kesalahan dengan bunuh diri secara terhormat. Sebagai pemimpin, ia merasa gagal membawa kemenangan bagi pasukannya.

Namun, ada juga yang menyebutkan kalau harakiri telah dilakukan sebelum aksi Yorimasa. Seseorang dari klan Minamoto yang tak lain pendahulunya Yorimasa pernah melakukannya pada tahun 1170.

Prosesi Harakiri

Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa harakiri dilakukan dengan cara menusuk perut? Terlepas dari makna harfiahnya, orang Asia kuno percaya kalau jiwa beristirahat pada perutnya, bukan di otak. Oleh sebab itu, perut seseorang harus dipotong agar jiwanya bisa bebas.

Orang yang melakukan harakiri tidak menusuk perut atau merobeknya begitu saja. Ada rangkaian prosesi yang harus dilewati hingga akhirnya orang tersebut dinyatakan mati terhormat. Biasanya orang yang akan melakukan ritual harakiri mengenakan pakaian kimono putih.

Ia duduk di posisi yang telah ditentukan dengan cara seiza (kaki ke belakang sehingga pantat menduduki tumit). Setelah itu, orang tersebut diberikan waktu untuk menulis puisi sebagai pesan terakhirnya. Lalu, ia pun ditawari makanan favorit. Saat menjelang piring terakhir, sebuah belati atau pedang pendek (tanto) disodorkan.

Pedang ini dibalut dengan kain supaya mudah memegangnya. Jika semua hidangan telah habis, barulah proses harakiri dilakukan. Pelaku harakiri tidak langsung mati, melainkan merasakan kesakitan dulu akibat sayatan di perutnya. Maka, seorang kaishakunin (seorang samurai lain atau teman dekat si pelaku) disiapkan untuk memenggal kepalanya begitu ia selesai menyayat perutnya.

Jigai, Bentuk “Harakiri” Kaum Wanita

Jika harakiri dilakukan pria, maka bunuh diri terhormat oleh wanita disebut jigai. Para wanita ini berasal dari istri kalangan samurai yang kalah di medan perang. Mereka juga menanamkan rasa kehormatan kepada anak-anak perempuannya. Lebih baik bunuh diri daripada mati di tangan lawan atau diperlakukan tidak hormat.

Berbeda dengan harakiri yang membutuhkan bantuan seseorang, jigai bisa dilakukan sendiri. Seorang wanita akan memotong jugular vein atau urat yang ada di lehernya. Alat yang digunakan adalah pisau tanto atau belati yang selalu di bawa samurai (kaiken). Mereka akan duduk bersimpuh sehingga posisi kematiannya terlihat anggun.

Aksi jigai dilakukan saat mereka mengetahui pihak musuh akan datang mengepung. Dengan begitu, ketika musuh tiba hanya menemukan jasad yang sudah bersimbah darah. Pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-20, para wanita Jepang melakukan jigai massal. Contohnya, pada perang Boshin lebih dari 20 wanita memilih jigai daripada menyerah karena kalah perang.

Perlahan Harakiri Mulai Ditinggalkan

Kasus bunuh diri di Jepang saat ini memang masih banyak. Meski praktiknya berbeda dengan harakiri ataupun jigai, tetap saja angkanya menjadi perhatian pemerintah Jepang. Untungnya, aksi harakiri layaknya samurai di zaman dulu telah ditinggalkan. Ada beberapa hal yang menjadi faktor pemicunya, yaitu:

1. Masuknya Budaya Asing

Sejak Jepang membuka diri terhadap kebudayaan barat, banyak nilai-nilai asing yang masuk dan terakulturasi. Adanya modernisasi ini membuat masyarakat Jepang mengubah sudut pandangnya. Dulu, kehidupan dijalankan dengan sangat tradisional dan terikat. Harga diri dianggap menjadi sesuatu yang sakral. Kini, orang-orang Jepang berfokus pada peningkatan potensi dan kualitas diri.

2. Kekalahan Perang Dunia II

Perang Dunia II memberikan dampak besar bagi Jepang dalam berbagai aspek kehidupan. Serangan yang dilancarkan pihak Amerika Serikat menimbulkan banyak korban, termasuk para prajurit. Akibatnya, Jepang kehabisan kalangan ksatria sehingga praktik harakiri pun berkurang.

3. Peran PBB dan Kesadaran HAM

PBB merupakan tempat berbagai negara bersatu. Banyak masalah yang dibahas untuk menemukan solusi terbaik. Sebagai salah satu anggotanya, Jepang mendapat perhatian dari negara-negara anggota terkait budaya bunuh diri. Selain itu, isu HAM yang ditegakkan oleh banyak negara menyadarkan Jepang untuk bangkit pasca serangan bom nuklir. Adanya toleransi hidup dan tumbuh bersama menyadarkan Jepang untuk meninggalkan aksi harakiri.

4. Peristiwa Nogi Maresuke dan Yukio Mishima

Nama Nogi Maresuke sangat terkenal di awal era Meiji. Ia adalah seorang petinggi dari kelas samurai yang mengabdi dan mempertahankan kekaisaran. Sayang, ia gagal menghadapi pemberontakan Satsuma. Akhirnya, ia memutuskan untuk harakiri namun digagalkan oleh seorang prajurit.

Pada tahun 1912, kaisar Meiji wafat dan Nogi sangat terpukul. Setelah ia menulis puisi terakhirnya, ia melakukan harakiri. Aksi ini bukan dianggap mulia, justru masyarakat Jepang mengecamnya.

Hal serupa terjadi pada Yukio Mishima, seorang penulis yang membawa pengaruh cukup kuat. Ia melakukan aksi protes agar pemerintahan Jepang dikembalikan ke kaisar. Namun, aspirasinya tidak ditanggapi, akhirnya ia bunuh diri di tengah demonstrasi. Aksi ini pun menimbulkan reaksi warga Jepang yang memandang buruk praktik harakiri.

5. Hilangnya Samurai dan Kelangkaan Katana

Pada era restorasi Meiji, banyak samurai yang kehilangan pekerjaannya. Samurai menjadi tak bertuan sehingga aksi harakiri pun tidak banyak dilakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, Jepang pun menjadi negara demokrasi sehingga kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Tidak ada lagi satu tuan khusus yang dilayani.

Sejalan dengan berkurangnya samurai, permintaan pembuatan katana pun menurun. Bahkan kini telah ada peraturan khusus yang melarang membawa senjata tajam ke mana-mana karena membahayakan. Zaman sekarang, meskipun katana dibuat hanya untuk koleksi saja dan harganya sangat mahal.

Harakiri memang unik kalau diperhatikan oleh manusia-manusia modern. Bagi sebagian orang mungkin kebingungan mengapa harus sampai mengorbankan nyawa untuk setia kepada seorang pemimpin. Tapi itulah kebudayaan orang Jepang yang bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, termasuk pengabdian. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan harakiri tidak boleh berwajah kesakitan saat perutnya mulai sobek dan usus terburai. Ia tak boleh gentar dan harus tetap terlihat gagah.

Baca juga: Tarian Jepang yang Menjadi Bagian Utama Kebudayaan Jepang

Penulis

WeXpats
Di sini kami menyediakan artikel yang mencakup berbagai informasi yang berguna tentang kehidupan, pekerjaan, dan studi di Jepang hingga pesona dan kualitas Jepang yang menarik.

Sosial Media ソーシャルメディア

Kami berbagi berita terbaru tentang Jepang dalam 9bahasa.

  • English
  • 한국어
  • Tiếng Việt
  • မြန်မာဘာသာစကား
  • Bahasa Indonesia
  • 中文 (繁體)
  • Español
  • Português
  • ภาษาไทย
TOP/ Budaya Jepang/ Sejarah Jepang/ Harakiri, Pengorbanan Sebagai Bentuk Kehormatan Orang Jepang

Situs web kami menggunakan Cookies dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas dan kualitas kami. Silakan klik "Setuju" jika Anda menyetujui penggunaan Cookie kami. Untuk melihat detail lebih lanjut tentang bagaimana perusahaan kami menggunakan Cookies, silakan lihat di sini.

Kebijakan Cookie