Nilai-nilai tradisi Jepang tidak hanya terlihat dari aktivitas sehari-hari masyarakatnya saja. Dalam beberapa hal sakral, seperti pemberian nama kepada seorang anak, ada juga aturan yang harus dipatuhi. Pemberian nama orang Jepang tidak bisa sembarangan karena nama dianggap sebagai sebuah doa atau harapan dari orang tua.
Selain dalam menciptakan sebuah nama, orang Jepang pun memiliki aturan lainnya yang berhubungan dengan nama, yaitu cara penulisan dan sopan-santun dalam memanggil seseorang. Tidak seperti pada budaya barat yang seringnya memanggil orang lain hanya menggunakan nama. Bagi orang Jepang, penggunaan kata sapaannya mencerminkan etika seseorang dalam berkomunikasi.
Daftar Isi
- Tradisi Pemberian Nama Anak di Jepang
- “Akuma”, Nama yang Dilarang
- Memahami Yobisute dan Keishou
- Penggunaan Aksara Jepang untuk Menulis Nama
Tradisi Pemberian Nama Anak di Jepang
Nama orang Jepang umumnya hanya terdiri dari dua kata, yaitu nama depan dan nama belakang. Tidak seperti orang Indonesia yang memiliki nama tengah belum lagi sangat panjang. Nama depan adalah nama keluarga (myouji), sedangkan nama belakang adalah nama orang asli orang tersebut atau pemberian orang tuanya (shita no namae).
Sebenarnya penggunaan nama keluarga dalam nama orang Jepang belum berlangsung lama. Ini dikarenakan adanya kewajiban mendaftarkan seluruh anggota keluarga pada sistem administrasi Jepang mulai tahun 1870-an. Dulunya, nama keluarga hanya digunakan oleh kaum prajurit atau bangsawan saja.
Di Jepang, nama keluarga menunjukkan asal usul seseorang. Sebagian besar diambil berdasarkan daerah asal keluarga tersebut (baik secara nama tempat maupun letak geografis). Ada juga yang menggunakan nama depannya untuk menggambarkan profesi, nama suku besar, atau kondisi alam di sekitar penduduk tersebut.
Selain nama keluarga, ada ciri khas lain yang terlihat pada nama aslinya. Untuk anak perempuan, para orang tua sering memberikan nama yang memiliki makna nilai-nilai tradisi dalam keluarga tersebut, misalnya Nayako (anak patuh), Yoshiko (anak baik), dan sebagainya. Di sisi lain, untuk anak laki-laki cenderung menggambarkan posisinya dalam keluarga, seperti Ichiro (anak pertama), Jiro (anak kedua), dan seterusnya.
Untuk anak-anak Jepang yang dilahirkan dari orang tua dengan kebudayaan berbeda biasanya tidak begitu terikat dengan aturan di atas, kecuali salah satu orang tuanya masih memegang teguh tradisi Jepang. Jika Ayah atau Ibunya bukan orang Jepang, beberapa anak mereka memiliki nama tengah yang dilengkapi dengan unsur nama Jepang. Jika penasaran dengan cara orang jepang memanggil nama, silakan membaca San?Kun?Chan? Memanggil Nama Orang Jepang Sesuai Level Keakraban dan Situasi.
Artikel Pilihan
“Akuma”, Nama yang Dilarang
Sudah semestinya kalau sebuah nama ketika dilafalkan enak untuk didengar. Tapi ternyata itu saja tidak cukup. Nama pun harus memiliki makna yang indah. Jadi, meskipun terdengar bagus kalau artinya tidak baik jangan digunakan. Ini berlaku di Jepang untuk nama “Akuma”. Tidak ada masalah sebenarnya dalam penyebutan nama tersebut, namun makna di baliknya lah yang membuat pemerintah Jepang melarang penggunaannya.
Nama “Akuma” ditolak karena memiliki arti “iblis”. Orang Jepang menganggap nama itu tidak pantas diberikan kepada siapapun. Sebelum nama ini dilarang, para kabinet di Jepang sempat bereaksi keras karena nama ini ilegal dan tidak semestinya orang tua memberikan nama tersebut kepada anak-anaknya.
Selain “Akuma”, ada juga beberapa nama orang Jepang yang tidak lagi digunakan. Meski alasannya bukan karena dilarang, melainkan sudah dianggap kuno sehingga tidak populer lagi. Misalnya, Sadako, atau Hanako karena menjadi nama hantu di Jepang. Walaupun begitu, nama-nama kuno ini masih ditemui di beberapa orang Jepang.
Memahami Yobisute dan Keishou
Saat membicarakan nama orang Jepang, ada dua istilah yang sering dikaitkan, yaitu “yobisute” dan “keishou”. “Yobisute” merupakan sikap memanggil nama seseorang tanpa disertai dengan gelar kehormatan. Biasanya ini dilakukan terhadap pasangan, anggota keluarga yang lebih muda, anak buah, murid, atau seseorang yang sudah dianggap dekat.
Sedangkan “keishou” adalah gelar kehormatan kepada seorang laki-laki atau perempuan yang ditambahkan di belakang namanya. Tujuannya untuk menciptakan keakraban kepada orang yang baru dikenal atau menunjukkan sikap hormat. Gelar kehormatan tidak digunakan saat sedang menceritakan seseorang kepada orang lain.
Gelar ini pun tidak untuk diri sendiri, kecuali orang tersebut merasa sombong, imut, atau sedang mengajarkan sikap sopan kepada anak kecil. Beberapa gelar kehormatan yang umum digunakan adalah:
1. San
“San” adalah panggilan paling umum dan netral yang bisa digunakan untuk pria dan wanita, serta tua dan muda. Panggilan ini juga cocok dipakai untuk orang yang belum dikenal sebagai bentuk sikap menghormati. Umumnya, “san” ditambahkan di belakang nama seseorang sehingga memiliki makna “Mr.”, “Mrs.”, “Ms.”, atau “Mstr.”.
Selain untuk orang, “san” kadang ditempatkan pada nama toko atau perusahaan, seperti “yaoya-san” (toko sayur). Beberapa orang Jepang pun memanggil hewan peliharaannya dengan “san” sebagai bentuk sayang, contohnya “usagi-san” (kelinci kesayangan). Ingat, panggilan “san” tidak berlaku untuk diri sendiri karena akan dianggap tidak sopan.
2. Kun
Jika memanggil nama orang Jepang pria bisa ditambah dengan “kun”. Tapi panggilan ini hanya berlaku kalau sudah merasa dekat dengan orang tersebut dan umumnya digunakan kepada anak laki-laki yang lebih muda atau masih remaja. Kalau belum akrab, biasanya agak sungkan menggunakan “kun” dalam sapaan.
Namun, dalam dunia perkantoran, “kun” juga biasa digunakan untuk memanggil bawahan perempuan. Hanya saja panggilan ini tidak bisa dipakai kepada atasan atau yang usianya di atas kita karena dianggap tidak sopan, meskipun sudah merasa akrab.
3. Chan
Kalau bertemu dengan anak-anak, panggilah mereka dengan sebutan “chan”. Panggilan ini menunjukkan bahwa orang tersebut lucu dan menggemaskan. Tapi panggilan “chan” juga sering ditujukan kepada kekasih atau orang lebih tua yang sangat disayangi. Jadi apabila ada dua orang dewasa saling memanggil “chan” satu sama lain berarti mereka memiliki hubungan yang sangat dekat.
4. Sama
“Sama” penggunaannya mirip seperti “san” namun lebih sering dipakai pada situasi formal. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya adalah “tuan” atau “nyonya”. Jadi kesan sopan yang ditunjukkan cenderung kepada sikap hormat, baik secara jabatan, status sosial, atau kepada seorang tamu.
Panggilan “sama” juga sering ditemui dalam hubungan kerja, misalnya saat bertemu dengan rekan bisnis, kolega rapat, atau berhadapan dengan pemimpin. Di samping itu, orang Jepang pun menyebut Tuhan dengan imbuhan “sama”, yaitu “Kami-sama”.
5. Senpai
Panggilan ini biasa ditemui dalam dunia sekolah. “Senpai” digunakan oleh junior kepada kakak kelasnya. Sebaliknya, kakak kelas akan memanggil adik kelas dengan “kohai”. Sebutan “senpai” memang menunjukkan hubungan senioritas. Baik “senpai” maupun “kohai” akan disebutkan setelah nama asli seseorang.
6. Sensei
Panggilan “sensei” juga akrab di lingkungan sekolah. Ini adalah panggilan hormat kepada seorang guru. Namun sebenarnya “sensei” tidak hanya digunakan untuk guru saja, bisa juga kepada dokter atau seseorang yang memiliki keahlian tertentu di bidangnya. Jika memanggil orang lain dengan sebutan “sensei”, berarti ia sangat dihormati dan terkesan cukup disegani di lingkungannya.
Penggunaan Aksara Jepang untuk Menulis Nama
Nama orang Jepang umumnya ditulis menggunakan aksara kanji sebab beberapa nama bisa dilambangkan oleh aksara tersebut. Namun ada juga nama yang ditulis dengan huruf kana (hiragana dan katakana). Supaya tidak bingung penggunaannya, simak sedikit ulasan tentang penulisan nama Jepang dengan ketiga aksara tersebut:
1. Hiragana
Saat orang Jepang mendaftarkan namanya secara administrasi, pada formulir terdapat kotak kecil untuk menuliskan namanya dalam huruf hiragana. Gunanya untuk menghindari kesalahan penulisan atau penyebutan. Oleh sebab itu, huruf hiragana berfungsi sebagai penjelas dari nama seseorang dalam aksara kanji. Adapun nama-nama yang ditulis dengan huruf hiragana adalah nama-nama asli bahasa Jepang, bukan serapan dari bahasa asing.
2. Katakana
Kebalikan dari hiragana, huruf katakana digunakan untuk menulis nama-nama dari bahasa asing, misalnya “David”, “James”, “Diana”, dan sebagainya. Cara menulisnya pun tidak bisa sama persis dengan nama asli tersebut. Nama asing akan ditulis mirip seperti pelafalannya, bukan ejaan tulisannya. Jadi kalau namanya adalah “David” akan ditulis “De-biddo” bukan “Da-biddo”.
Ada satu fenomena baru pada nama orang Jepang, yaitu nama Jepang bercampur dengan nama asing. Kalau begini kasusnya, maka nama Jepang akan ditulis dengan huruf hiragana sedangkan nama asingnya menggunakan huruf katakana.
3. Kanji
Kanji secara resmi diberikan kepada setiap nama asli Jepang. Tujuannya agar mudah dibaca dan ditulis oleh orang Jepang itu sendiri. Dengan demikian, sejak bayi Jepang sudah memiliki inisial kanji namanya. Untuk nama keluarga atau marga, ada yang terdiri dari satu atau dua aksara kanji. Hal ini disesuaikan dengan makna dari nama keluarga tersebut.
Hampir seluruh orang Jepang memiliki nama keluarga, meskipun kini nama keluarga maknanya tidak begitu kaku seperti zaman dulu. Walaupun demikian, jangan sampai salah menulis nama orang Jepang. Tulislah nama keluarganya dulu baru nama aslinya. Jangan sampai tertukar karena kesalahan posisi ini bisa membuat mereka tersinggung.
Baca juga: Yukata: Pakaian Jepang Seperti Kimono yang Lebih Sejuk untuk Musim Panas