Usia dewasa di Indonesia memang membingungkan. Kamu mendapatkan KTP dan hak pilih di usia 17 tahun, dinyatakan bukan anak-anak di usia 18 pada Undang-Undang Perlindungan anak dan diakui belum dewasa jika belum berusia 21 tahun dalam Kitab Undang-Undang hukum pidana. Kalau Jepang sih serentak menyatakan usia dewasa di angka 20.
Saking tidak jelasnya usia dewasa di Indonesia, tidak ada perayaan spesial untuk menjadi dewasa selain perayaan ulang tahun sweet seventeen yang itupun baru hits beberapa tahun ke belakang. Di Jepang, ada perayaan khusus untuk merayakan kedewasaan loh! Namanya adalah Seijin Shiki (upacara kedewasaan) yang diadakan pada Seijin No Hi (hari kedewasaan). Seperti apa sih perayaan ini?
Konsep Seijin Shiki
Seijin no Hi, atau Coming of Age Day, adalah salah satu hari libur nasional terpenting di Jepang. Tidak hanya karena skala persiapan dan publisitasnya, tetapi juga karena hari ini bisa dibilang menjadi salah satu acara paling berwarna dan indah sepanjang tahun. Seperti yang sudah diungkapkan di atas, di Jepang, para remaja secara resmi dianggap dewasa pada usia 20 tahun. Setelah menjadi dewasa, mereka sudah diperbolehkan untuk minum, mengemudi, merokok, dan berjudi secara legal. Namun, usia memilih yang sah diturunkan menjadi 18 pada tahun 2015.
Libur Seijin Shiki diadakan pada hari Senin kedua di bulan Januari setiap tahunnya untuk merayakan kedewasaan kaum muda yang telah mencapai usia 20 tahun dalam satu tahun terakhir. Seijin Shiki juga jadi kesempatan bagi orang dewasa untuk mengingatkan generasi muda bahwa kedewasaan bukanlah hanya tentang kebebasan untuk mengemudi secara legal, mengonsumsi alkohol, dan memilih dalam pemilu.
Artikel Pilihan
Sejarah Seijin Shiki
Sebelum adanya upacara kedewasaan, sudah ada cara tradisional untuk merayakan kedewasaan. Selama periode Edo, remaja laki-laki mulai membawa pedang secara terbuka untuk menunjukkan bahwa mereka telah tumbuh menjadi orang dewasa. Wanita muda, mengadopsi kebiasaan pada akhir abad ke-19 yaitu melakukan ohaguro, kebiasaan mewarnai gigi mereka dengan warna hitam. Gigi hitam ini tidak hanya mengekspresikan kedewasaan mereka tetapi juga kebebasan pribadi mereka.
Pada tahun 1876, usia legal ditetapkan menjadi dua puluh dan dengan demikian, menjadi dewasa tiba-tiba memiliki tanggal resmi. Sebenarnya ada beberapa teori tentang asal muasal liburan ini, termasuk beberapa yang berasal dari tahun 700-an, ketika seorang pangeran muda memperlihatkan pakaian dan rambutnya sebagai tanda telah menjadi dewasa.
Hari libur resmi sendiri dimulai pada tahun 1946, ketika sebuah kota kecil di Saitama (sekarang, Kota Warabi), menyelenggarakan acara untuk memberikan harapan kepada generasi muda setelah Perang Dunia II. Kota lain mulai mengikuti acara ini dan pada tahun 1948, Seijin no Hi ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk memperingati kedewasaan dan merayakan perjalanan anak muda ke kehidupan barunya sendiri.
Rangkaian Acara Seijin Shiki
Sebelum secara resmi mengucapkan selamat tinggal pada masa remaja mereka, remaja yang telah berusia 20 tahun yang terdaftar di daerah tersebut diundang oleh setiap kotamadya ke upacara besar di balai kota setempat. Serangkaian ceramah dilakukan oleh orang dewasa yang sudah mapan (seperti tokoh utama balai kota) tentang apa artinya menjadi dewasa dan tanggung jawab yang dimiliki kaum muda untuk membangun masa depan. Peserta biasanya diberi hadiah kecil dan souvenir acara. Upacara diikuti dengan pesta dan acara keluarga, dengan beberapa kotamadya yang lebih progresif untuk mengatur kunjungan ke kuil dan tempat populer lainnya di wilayah mereka.
Pada pertemuan yang lebih besar, bahkan mungkin ada musik live atau pertunjukan setelah acara formalitas. Setelah upacara selesai, tentu saja waktunya mengabadikan momen berharga ini dengan pemotretan tanpa akhir, doa, dan harapan baik bersama keluarga. Kebanyakan dari orang dewasa baru ini akan pergi bersama teman-teman mereka untuk pertemuan yang lebih santai di izakaya, restoran, atau bahkan makan-makan di rumah sebagai cara untuk merayakan mereka semua mencapai usia legal untuk minum.
■ Alur dan isi hari upacara dewasa secara garis besar
① Pembukaan upacara oleh anggota komite eksekutif
② Sambutan dan ucapan selamat oleh setiap kepala pemerintahan daerah
③ Sambutan dari para tamu seperti anggota dari setiap majelis prefektur
④ Pidato oleh perwakilan orang dewasa baru・Sumpah kedewasaan
⑤ Penutupan
⑥ Berfoto dan makan-makan setelah upacara
Pakaian untuk Menghadiri Seijin Shiki
Pakaian yang dikenakan sangat krusial untuk hari penting ini dan memerlukan banyak persiapan, seperti bagaimana hebohnya persiapan kebaya saat upacara kelulusan di Indonesia.
Pakaian Perempuan
Perempuan biasanya mengenakan furisode, kimono lengan panjang yang dikenakan oleh wanita yang belum menikah. Waktu ini adalah waktunya salon dan studio foto panen pengunjung. Salon rambut dan studio foto mulai menjalankan kampanye berbulan-bulan sebelumnya, menawarkan penataan rambut dan pilihan foto khusus untuk menandai acara tersebut. Yang cukup menarik, furisode dikenakan oleh anak perempuan dan laki-laki di bawah umur sebelum abad ke-20, menjadi kimono yang sepenuhnya netral gender yang berarti kebalikannya: para pemuda yang mengenakan furisode berarti belum melihat diri mereka sebagai orang dewasa.
Pakaian Laki-Laki
Kebanyakan pria muda juga akan mengenakan pakaian tradisional Jepang yang disebut hakama, meskipun secara bertahap sekarang, mereka beralih ke setelan gaya Barat atau jas formal yang lebih simpel. Bahkan beberapa tahun ke belakang, bukannya menggunakan baju formal, melainkan kostum-kostum aneh jadi pilihan populer pula.
Peserta Seijin Shiki Menurun?
Kantor daerah Shibuya, salah satu tempat Seijin Shiki terbesar dan terpopuler di Tokyo. Orang dewasa baru disambut oleh segerombolan keluarga dan fotografer, serta jaringan televisi besar yang ada di sana untuk melaporkan acara kedewasaan ini. Yang mengejutkan, dilaporkan ada peserta berusia 20 tahun menyusut dibandingkan tahun sebelumnya. Alasannya adalah karena tingkat kelahiran yang menurun di Jepang, angka yang terus menurun selama 30 tahun terakhir.
Orang dewasa baru di Shibuya dan 15 tahun sebelumnya jumlahnya melebihi 4300 orang. Tahun ini (2020) hanya ada 1,604 yang telah berusia dua puluh tahun di lingkungan yang sama, yang hampir turun 70% selama dua dekade terakhir.
Angka Kelahiran Jepang yang Menurun (Shoushika)
Bukan berita baru lagi bahwa populasi usia produktif di Jepang sedang mengalami penyusutan. Untuk pertama kalinya sejak pemerintah mulai mencatat lebih dari satu abad yang lalu, terdapat kurang dari 1 juta kelahiran tahun lalu, karena itu populasi negara turun lebih dari 300.000 orang. Hal ini juga telah lama dibebankan pada kaum muda Jepang yang dituduh telah kehilangan gairah berhubungan secara serius, tidak terkecuali tuduhan ini dilayangkan pada para wanita, yang menurut narasinya mulai menempatkan karir mereka sebagai prioritas di atas kepentingan untuk menikah dan berkeluarga.
Tapi ada penjelasan lain yang lebih sederhana untuk angka kelahiran yang rendah di Jepang: Jepang adalah negara di mana laki-laki masih banyak diharapkan untuk menjadi pencari nafkah dan mendukung keluarga, kurangnya pekerjaan yang baik mungkin menciptakan kelompok laki-laki yang tidak ingin menikah dan tidak memiliki anak karena mereka, atau juga calon pasangan mereka, tahu bahwa mereka tidak mampu untuk membiayai seluruh kebutuhan anak dan keluarga.
Baca juga: Serba-serbi Menjalin Asmara di Jepang. Ada Jasa Bikin Pasangan Putus?